Sabtu, 11 Januari 2020

Pesan Quraish Shihab untuk Para Guru dan Murid saat Berkunjung di Kediaman Gus Mus

Sudah seharusnya, seorang ulama, pemimpin umat senantiasa mengingatkan umat untuk bertingkah baik, berlaku baik, dan saling menyayangi, juga memperteguh keimanan. Adapun caranya, sangat beragam. Ada ulama yang punya jadwal acara rutin di teve-teve. Ada pula ulama yang 'dakwah' dengan cara menjadi pemain sinetron. Tak jarang pula, melakukan orasi-orasi (tausiyah-tausiyah) melalui aksi massa.
Quraish Shihab di Kediaman Gus Mus | Foto: Facebook Wahyu Slavana

Jalan yang ditempuh oleh Quraish Shihab lebih keren. Beliau ikhlas tanpa berusaha mengabarkan kunjungannya ke kediaman Gus Mus (KH. Ahmad Mustofa Bisri) kepada wartawan. Tetapi, melalui akun Wahyu Sulaiman dapat ketahui betapa sejuk dan bersahajanya kedua tokoh dan ulama terkemuka di Indonesia ini.

Selain saling berkunjung dan saling menyapa antar-kedua tokoh tersebut, sang tamu Quraish Shihab senantiasa memberikan wejangan-wejangan yang meneduhkan. Membuat kita tertunduk malu. Pilihan kata yang digunakan oleh Quraish Shihab juga identik dengan orang kebnyak.

Mari sama-sama mencerna isi tausiyah Quraish Shihab melalui tulisan Wahyu Sulaiman berikut ini:

"Terkadang kita berusaha untuk mendapatkan sesuatu, kita gagal. Tetapi kemudian, tanpa disadari, itu kita temukan. Pengalaman saya, pengalaman banyak teman-teman di Azhar".
Kali ini, Habib Quraish Shihab bercerita salahsatu peristiwa dan pengalamannya saat menempuh pendidikan di Al-Azhar Kairo Mesir.
"Saya cerita waktu saya menulis desertasi. Desertasi saya itu, 'tahqieq', yaitu membaca, atau menganalisa satu buku lama. Tapi, antara lain tugas kita, mencari pendapat yang ada di dalam buku itu untuk diketahui. Apa ini pendapat penulis, atau pendapat orang lain yang dikutip oleh penulis? Kalau itu pendapat orang lain yang dikutip oleh penulis, kita harus cari buku itu untuk kita katakan, ini sesuai atau tidak?"
Aku mulai semakin hati-hati mencerna cerita yang disampaikan Habib Quraish, agar tidak salah tangkap.
"Ada uraian, misalnya, Imam Ghazaliy berkata 'begini'. Tapi dulu kan tidak disebut bukunya, tidak disebut halaman berapa? Sudah, tidak dapat. Berhari-hari dicari tidak dapat. Saya lapor sama pembimbing, dia bilang; tulis saja, 'lam ajidhum', saya tidak dapat".
Aku menghela nafas sesaat sembari merubah sedikit posisi duduk. Lumayan, agak kesemutan juga kaki ini. Tapi, aku masih sangat betah berada di majelis itu. Lalu, Habib Quraish kembali melanjutkan ceritanya.
"Tetapi, keesokan harinya kita sudah beralih pada hari yang lain. Keesokan harinya, menuju ke suatu tempat di perpustakaan, cari buku, tiba-tiba kaki itu berhenti di depan satu buku".
Sambil menepuk kaki kirinya yang ditekuk.
"Kita buka, dapat itu buku yang dicari berhari-hari..!"
Lalu, menoleh ke arah Abah Ahmad Mustofa Bisri sembari menepuk pelan paha Abah.
Kami semua yang asik mendengarkan cerita beliau, tanpa dikomando, spontan bersama-sama mengeluarkan kata kagum.
"Ooohh..!"
Habib Quraish, kembali bercerita.
"Ah..! Itu juga kata Ibnu Sina, itu seringkali orang mendapatkan solusi dari problemanya melalui mimpi".
Kali ini, intonasi suara Habib Quraish agak tinggi.
"Kalau kita cerita seperti ini sekarang, orang tidak akan percaya. Tapi, itu pengalaman banyak orang".
Intonasi suara Habib Quraish kembali seperti semula.
"Jadi, itu hubungan tadi, hubungan 'murid' dengan 'syeikh'. Ihlas, tulus, hormat, mengikuti, dan lain sebagainya".

Semoga kita semua bisa menjadi murid yang senantiasa mendapat keikhlasan dan ketulusan dari guru-guru kita. Sehingga bisa sambung batin dengan beliau-beliau yang telah mengajari kita dan memberikan ilmu yang berkah.